Hidup di Tengah Ibu Kota: Bertahan di Bawah Rp 20.000 Sehari, Kisah Nyata Ketahanan Keluarga Kecil di Jakarta
Di tengah gegap gempita ibu kota yang tak pernah tidur, masih ada kisah tentang Ketahanan Keluarga Kecil di Jakarta dan perjuangan hidup yang jarang tersorot kamera. Salah satunya adalah kisah Mawi, seorang pria paruh baya yang tinggal di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Bersama istri dan dua anaknya, Mawi menyewa rumah petak sederhana dengan penghasilan bulanan hanya Rp 700.000 sebagai penjaga kebun.
Dalam kondisi tersebut, keluarga ini harus bertahan dengan alokasi belanja harian kurang dari Rp 20.000 per orang. Meskipun jumlah tersebut bahkan di bawah garis kemiskinan nasional, mereka tetap berjuang untuk hidup, bukan sekadar bertahan.
Menurut data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan nasional saat ini berada pada angka Rp 609.160 per kapita per bulan, atau setara dengan Rp 20.305 per hari. Keluarga Mawi hidup sedikit di bawah batas ini, namun tetap berada dalam zona merah kategori miskin.
Dalam wawancara dengan Kompas.com, Mawi menyebutkan bahwa pengeluarannya untuk makan bisa ditekan hingga di bawah Rp 500.000 per bulan. Ia memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan primer seperti makan dan listrik, dengan penghematan ketat pada kebutuhan sekunder lainnya.
Romys, seorang pekerja swasta berusia 30 tahun yang tinggal di Jakarta, mengakui bahwa secara teori memang memungkinkan untuk hidup dengan Rp 600.000 per bulan, namun sangat jauh dari kata layak. Ia menekankan bahwa bertahan hidup bukan berarti benar-benar hidup.
“Bisa sih, asal cuma makan dan tidur. Tapi ya hidup seperti itu bukan kehidupan yang layak, apalagi di Jakarta,” ucapnya.
Romys menyoroti fenomena sosial yang sering luput dari perhatian: banyak warga ibu kota yang secara diam-diam hidup dalam tekanan ekonomi luar biasa. Mereka mengandalkan berbagai strategi bertahan hidup, dari bekerja serabutan, mengamen, hingga mengandalkan bantuan sosial.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menegaskan kembali bahwa garis kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan alat ukur yang merepresentasikan kemampuan ekonomi seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar.
“Garis kemiskinan adalah batas pengeluaran minimum yang digunakan untuk mengklasifikasikan seseorang sebagai miskin,” ujarnya.
Kenaikan angka garis kemiskinan ini mencerminkan meningkatnya biaya hidup, terutama di sektor pangan. Namun, bagi mereka yang hidup jauh di bawah angka tersebut, seperti Mawi, kenaikan ini justru menjadi cermin dari makin lebarnya kesenjangan sosial.
Fenomena yang dialami Mawi bukanlah kasus tunggal. Di berbagai sudut Jakarta, terdapat ribuan keluarga yang menghadapi dilema serupa: tinggal di kota besar dengan penghasilan yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Cerita Mawi dan ribuan warga lain menyuguhkan sebuah pertanyaan besar: apakah cukup bagi pemerintah untuk sekadar menentukan garis kemiskinan tanpa mengubah struktur pendukungnya? Tanpa kebijakan konkret yang mengatasi akar masalah, maka angka-angka hanya menjadi statistik, bukan solusi.
Meski hidup dalam keterbatasan ekstrem, Mawi dan keluarganya tidak menyerah. Di tengah kerasnya ibu kota, mereka tetap menunjukkan bahwa semangat bertahan hidup tak mengenal angka. Namun, seberapa lama ketangguhan ini bisa bertahan tanpa dukungan nyata dari sistem sosial dan ekonomi yang lebih adil?
Pemerintah kembali memperkuat komitmennya dalam meningkatkan kesejahteraan guru melalui penyaluran Tunjangan Profesi Guru (TPG). Agar…
Ancaman Penjara 15 Tahun Mengintai Jika Desertir Pulang ke Indonesia Eks Marinir TNI Satria Kumbara,…
Eskalasi Konflik Berujung Korban Jiwa, Militer Thailand Kerahkan Jet Tempur Bentrokan bersenjata di wilayah perbatasan…
Kekayaan Prabowo Capai Rp 2 Triliun dalam LHKPN 2025, Tunjukkan Pertumbuhan yang Konsisten. Komisi Pemberantasan…